Prosa di Indonesia sudah mulai
digemari oleh masyarakat, terbukti dari banyaknya penulis-penulis yang karyanya
mulai mendapat tempat dimasyarakat. Tema-tema yang diusung pun berbagai macam,
dari mulai percintaan, konflik masyarakat, termasuk isu-isu perempuan pun bisa
diangkat menjadi tema tulisan. Sayangnya saat ini tema perempuan lebih banyak
disampaikan oleh penulis perempuan, sedikit penulis laki-laki yang mau
mengangkat tema ini. Mungkin penulis perempuan lebih dianggap mampu mengambil
tema ini karena mereka bisa mengeluarkan semua permasalahan atau isu
dimasyarakat dengan lebih baik karena bisa saja permasalahan itu mereka sendiri
yang mengalaminya. Lalu dari segi psikologinya, penulis perempuan pasti lebih
tahu apa saja yang saat ini tengah terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih
mudah menuangkan ide cerita.
Tapi bukan berarti penulis laki-laki
tidak boleh mengambil tema perempuan. Mereka boleh mengambilnya agar tidak ada
anggapan bahwa tema perempuan ini hanya bisa ditulis oleh penulis perempuan. Seperti
contohnya ada Marah Rusli dengan Sitti Nurbaya, Pramoedya Ananta Toer dengan
Gadis Pantai, Midah Simanis bergigi emas dan Larasati, Sutan Takdir Alisjahbana
dengan Layar Terkembang, Hamka dengan Ni Iyik, dan termasuk seorang penulis
laki-laki Indonesia yang berani mengambil tema perempuan dengan sudut pandang
yang ‘sangat’ perempuan yaitu Seno Gumira Ajidarma. Seno dalam beberapa
karyanya mengambil tema perempuan seperti dalam novel Drupadi yang terbit tahun
2017 dan cerpen Pelajaran Mengarang yang terbit pada harian Kompas tahun 1992
dan diterbitkan pula dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1993. Kedua prosa
lain jenis ini memiliki tema perempuan dan menghadirkan pula sisi psikologi
dari kedua perempuan ini.
Kedua prosa karya Seno Gumira
Ajidarma ini membahas tentang perempuan namun dari latar yang berbeda. Cerpen
Pelajaran Mengarang ini bercerita mengenai seorang anak perempuan Sandra yang
sedang mendapat tugas mengarang dari gurunya. Dari ketiga tema yang ditawarkan
yaitu “Keluarga
Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, dan “Ibu”, Sandra tidak bisa
memilih semuanya karena ia tidak mungkin menceritakan keadaan dirinya yang
merupakan anak seorang pelacur. Sementara untuk novel Drupadi ini menceritakan
tentang kehidupan putri Drupadi dari awal ia disayembarakan hingga ia menemui
ajalnya di gunung Mahameru. Dari kedua prosa ini, memang mengangkat soal
perempuan dan keduannya juga diceritakan memiliki banyak peristiwa selama
hidupnya hingga saat membacanya kita juga bisa mengetahui bagaimana sisi
psikologis kedua tokoh yakni Sandra dan Drupadi.
Seno Gumira Ajidarma dalam kedua
prosa ini menggunakan orientasi mimetik atau menjadikan karyanya ini adalah
sebuah tiruan, cerminan, ataupun representasi dari alam maupun kehidupan
menurut M.H Abrams. Cerpen Pelajaran Mengarang mengambil kehidupan Sandra yang
merupakan anak dari seorang pelacur. Didalam cerpen ini kita bisa tahu
bagaimana ia melihat kehidupan ibunya yang bekerja sebagai pelacur. Seno
menggunakan persepektif anak-anak dalam menggambarkan kehidupan seorang pelacur
pada umunya. Bagaimana ia menggambarkan keadaan disana dengan kepolosannya
namun pembaca mungkin mengerti keadaannya seperti apa. Sementara untuk novel
Drupadi ini karena diangkat dari cerita mitologi terkenal yakni Mahabarata maka
Seno menggunakan perspektif seorang putri kerajaan yang memiliki keberanian
untuk mengunggkapkan apa yang ada didalam pikirannya. Untuk penggambaran dalam
novel ini terlihat semua keresahan perempuan seakan keluar dan tersampaikan
seperti memang ditulis oleh penulis perempuan. Walaupun ada beberapa bagian
cerita yang memang dituliskan berbeda dengan cerita Mahabarata yang asli.
Seperti pada bagian ketika Drupadi hendak diperkosa oleh para Kurawa, cerita
asli mengisahkan bahwa ia ditolong Kresna dengan cara kemben yang ia gunakan
tidak habis ditarik oleh Dursasana sementara didalam novel Drupadi kain yang ia
gunakan berhasil dilepaskan oleh Dursasana.
Terlepas dari perbedaan latar dan
cerita diantara kedua prosa tersebut yang berbeda, tetap ada persamaan
diantaranya yakni perempuan yang menjadi tokoh utamanya. Seperti yang Cucchiari
ungkapkan bahwa gender mempunyai kategori yakni laki-laki dan perempuan dan
kategori itu mengandung makna yang bervariasi dari masyarakat yang memaknainya
seperti dalam aktivitas, sikap, tata nilai, dan simbol-simbol. Seperti yang
digambarkan dalam cerpen Pelajaran Mengarang, sikap dari ibu Sandra yang sering
berkata kasar, pulang larut malam atau bahkan sampai tidak pulang berhari-hari,
merokok, dan beberapa sikap buruk dari ibu Sandra sudah bisa dimaknai bagi
pembaca sebagai penggambaran perempuan yang tidak baik. Ditambah dengan kalimat
terakhir cerpen tersebut yakni “Ibuku seorang pelacur…” sangat menguatkan
karakter Sandra bahwa ia adalah anak yang sudah mendapat beban hidup yang
sangat berat saat kecil. Sementara untuk novel Drupadi, penggambaran tokoh
Drupadi sendiri terlihat dari simbol-simbol kerajaan yang digunakan sudah dapat
dimaknai pembaca bahwa tokoh ini adalah seorang putri kerajaan. Lalu sikap
Drupadi yang selalu merasa perempuan itu tidak serendah apa yang laki-laki
lihat juga bisa dimaknai pembaca sebagai tokoh perempuan yang tidak mau
direndahkan dan berani memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Jadi, walaupun
kedua prosa ini memiliki keadaan latar yang berbeda namun dari pemaknaan
terhadap perempuan yang Seno Gumira Ajidarma gambarkan dapat relevan dengan
keadaan masa kini. Soal pemerjuangan hak perempuan, realitas kehidupan anak
dari seorang pelacur masih bisa kita rasakan sampai saat ini dan Seno berhasil
membawa isu-isu tersebut dengan baik.
Selain
dari sisi perempuannya saja, ada yang menarik dari penggambaran psikologis
kedua tokoh dalam prosa ini. Keduanya digambarkan memiliki beban psikologis
yang cukup tinggi. Seno mendeskripsikan semua bayangan Sandra tentang kejadian
apa yang terjadi ketika ia memilih salah satu judul yang ibu guru Tati
tawarkan. Dengan deskripsi-deskripsi itu, pembaca bisa paham bahwa memang
Sandra selalu menjalani kehidupan sehari-hari dengan lingkungan pelacur yang
sangat khas seperti laki-laki yang tidur hingga pagi, alkohol, rokok, dan
perempuan-perempuan lain yang bekerja seperti ibunya. Bahkan diparagraf ini
“… Wanita itu barangkali mengira,
karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang
panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa
Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang
memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika
dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya
basah oleh air mata.” (Pelajaran
Mengarang, Seno Gumira Ajidarma).
Sandra digambarkan mengetahui
bagaimana ibunya bekerja sebagai pelacur. Hal itu sangat mengganggu psikologi
Sandra yang seharusnya belum tahu hal-hal seperti itu. Seno berhasil membawa
pembaca merasakan bagaimana jika mereka ada diposisi Sandra. Sedangkan didalam
novel Drupadi, karena jenisnya adalah novel maka banyak kejadian yang
memengaruhi psikologis Drupadi itu sendiri. Seperti disayembarakannya ia oleh
ayahnya, dijadikannya ia istri dari kelima pandawa padahal hati kecilnya ia
sangat ingin bersama Arjuna, bagaimana ia dipertaruhkan oleh Yudistira dan
dipermalukan oleh para Kurawa, dan bagaimana ia harus merasakan pengasingan
selama 13 tahun. Semua kejadian itu mempengaruhi psikologisnya dan merubahnya
menjadi sangat berani untuk memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Pembaca
yang mungkin dulunya pernah mendengar kisah lengkap dari epos Mahabarata
mungkin akan merasa ada beberapa perbedaan dalam penggambaran Drupadi ini,
namun secara garis besar tokoh Drupadi yang ada di novel dan cerita mitologi
tetap menggambarkan psikologis Drupadi menjadi istri para Pandawa.
Seno Gumira Ajidarma bisa menjadi
contoh bahwa tema perempuan bisa diambil oleh para penulis laki-laki. Walaupun
Seno tidak mengalami kejadian-kejadian seperti dalam prosanya, namun ia bisa
merasakan bagaimana bila ia ada diposisi Sandra dan Drupadi. Seno akhirnya bisa
berontak dan mengungkapkan apa isu-isu perempuan yang seharunya dibereskan atau
diberitahukan pada masyarakat. Para penulis laki-laki yang lain seharusnya juga
bisa mengambil tema ini dan mengangkatnya dari sudut pandang yang mereka
kuasai, sehingga tema ini bisa sekaligus menjadi kritik atas ketidakadilan
gender dan penulis laki-laki bisa memperlihatkan sisi empati kepada kaum
perempuan. Sehingga tidak ada lagi satu gender dipandang sebelah mata. Semuanya
sama memiliki hak dan kewajiban dan itulah sebenarnya fungsi lain dari sebuah
karya sastra. Memberi pesan hidup yang dapat diaplikasikan secara nyata pada masyarakat.