Kamis, 10 Januari 2019

Perempuan dan Psikologinya pada Karya Seno Gumira Ajidarma



            Prosa di Indonesia sudah mulai digemari oleh masyarakat, terbukti dari banyaknya penulis-penulis yang karyanya mulai mendapat tempat dimasyarakat. Tema-tema yang diusung pun berbagai macam, dari mulai percintaan, konflik masyarakat, termasuk isu-isu perempuan pun bisa diangkat menjadi tema tulisan. Sayangnya saat ini tema perempuan lebih banyak disampaikan oleh penulis perempuan, sedikit penulis laki-laki yang mau mengangkat tema ini. Mungkin penulis perempuan lebih dianggap mampu mengambil tema ini karena mereka bisa mengeluarkan semua permasalahan atau isu dimasyarakat dengan lebih baik karena bisa saja permasalahan itu mereka sendiri yang mengalaminya. Lalu dari segi psikologinya, penulis perempuan pasti lebih tahu apa saja yang saat ini tengah terjadi pada perempuan sehingga mereka lebih mudah menuangkan ide cerita.

            Tapi bukan berarti penulis laki-laki tidak boleh mengambil tema perempuan. Mereka boleh mengambilnya agar tidak ada anggapan bahwa tema perempuan ini hanya bisa ditulis oleh penulis perempuan. Seperti contohnya ada Marah Rusli dengan Sitti Nurbaya, Pramoedya Ananta Toer dengan Gadis Pantai, Midah Simanis bergigi emas dan Larasati, Sutan Takdir Alisjahbana dengan Layar Terkembang, Hamka dengan Ni Iyik, dan termasuk seorang penulis laki-laki Indonesia yang berani mengambil tema perempuan dengan sudut pandang yang ‘sangat’ perempuan yaitu Seno Gumira Ajidarma. Seno dalam beberapa karyanya mengambil tema perempuan seperti dalam novel Drupadi yang terbit tahun 2017 dan cerpen Pelajaran Mengarang yang terbit pada harian Kompas tahun 1992 dan diterbitkan pula dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1993. Kedua prosa lain jenis ini memiliki tema perempuan dan menghadirkan pula sisi psikologi dari kedua perempuan ini.

            Kedua prosa karya Seno Gumira Ajidarma ini membahas tentang perempuan namun dari latar yang berbeda. Cerpen Pelajaran Mengarang ini bercerita mengenai seorang anak perempuan Sandra yang sedang mendapat tugas mengarang dari gurunya. Dari ketiga tema yang ditawarkan yaitu “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, dan “Ibu”, Sandra tidak bisa memilih semuanya karena ia tidak mungkin menceritakan keadaan dirinya yang merupakan anak seorang pelacur. Sementara untuk novel Drupadi ini menceritakan tentang kehidupan putri Drupadi dari awal ia disayembarakan hingga ia menemui ajalnya di gunung Mahameru. Dari kedua prosa ini, memang mengangkat soal perempuan dan keduannya juga diceritakan memiliki banyak peristiwa selama hidupnya hingga saat membacanya kita juga bisa mengetahui bagaimana sisi psikologis kedua tokoh yakni Sandra dan Drupadi.

            Seno Gumira Ajidarma dalam kedua prosa ini menggunakan orientasi mimetik atau menjadikan karyanya ini adalah sebuah tiruan, cerminan, ataupun representasi dari alam maupun kehidupan menurut M.H Abrams. Cerpen Pelajaran Mengarang mengambil kehidupan Sandra yang merupakan anak dari seorang pelacur. Didalam cerpen ini kita bisa tahu bagaimana ia melihat kehidupan ibunya yang bekerja sebagai pelacur. Seno menggunakan persepektif anak-anak dalam menggambarkan kehidupan seorang pelacur pada umunya. Bagaimana ia menggambarkan keadaan disana dengan kepolosannya namun pembaca mungkin mengerti keadaannya seperti apa. Sementara untuk novel Drupadi ini karena diangkat dari cerita mitologi terkenal yakni Mahabarata maka Seno menggunakan perspektif seorang putri kerajaan yang memiliki keberanian untuk mengunggkapkan apa yang ada didalam pikirannya. Untuk penggambaran dalam novel ini terlihat semua keresahan perempuan seakan keluar dan tersampaikan seperti memang ditulis oleh penulis perempuan. Walaupun ada beberapa bagian cerita yang memang dituliskan berbeda dengan cerita Mahabarata yang asli. Seperti pada bagian ketika Drupadi hendak diperkosa oleh para Kurawa, cerita asli mengisahkan bahwa ia ditolong Kresna dengan cara kemben yang ia gunakan tidak habis ditarik oleh Dursasana sementara didalam novel Drupadi kain yang ia gunakan berhasil dilepaskan oleh Dursasana.

            Terlepas dari perbedaan latar dan cerita diantara kedua prosa tersebut yang berbeda, tetap ada persamaan diantaranya yakni perempuan yang menjadi tokoh utamanya. Seperti yang Cucchiari ungkapkan bahwa gender mempunyai kategori yakni laki-laki dan perempuan dan kategori itu mengandung makna yang bervariasi dari masyarakat yang memaknainya seperti dalam aktivitas, sikap, tata nilai, dan simbol-simbol. Seperti yang digambarkan dalam cerpen Pelajaran Mengarang, sikap dari ibu Sandra yang sering berkata kasar, pulang larut malam atau bahkan sampai tidak pulang berhari-hari, merokok, dan beberapa sikap buruk dari ibu Sandra sudah bisa dimaknai bagi pembaca sebagai penggambaran perempuan yang tidak baik. Ditambah dengan kalimat terakhir cerpen tersebut yakni “Ibuku seorang pelacur…” sangat menguatkan karakter Sandra bahwa ia adalah anak yang sudah mendapat beban hidup yang sangat berat saat kecil. Sementara untuk novel Drupadi, penggambaran tokoh Drupadi sendiri terlihat dari simbol-simbol kerajaan yang digunakan sudah dapat dimaknai pembaca bahwa tokoh ini adalah seorang putri kerajaan. Lalu sikap Drupadi yang selalu merasa perempuan itu tidak serendah apa yang laki-laki lihat juga bisa dimaknai pembaca sebagai tokoh perempuan yang tidak mau direndahkan dan berani memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Jadi, walaupun kedua prosa ini memiliki keadaan latar yang berbeda namun dari pemaknaan terhadap perempuan yang Seno Gumira Ajidarma gambarkan dapat relevan dengan keadaan masa kini. Soal pemerjuangan hak perempuan, realitas kehidupan anak dari seorang pelacur masih bisa kita rasakan sampai saat ini dan Seno berhasil membawa isu-isu tersebut dengan baik.

            Selain dari sisi perempuannya saja, ada yang menarik dari penggambaran psikologis kedua tokoh dalam prosa ini. Keduanya digambarkan memiliki beban psikologis yang cukup tinggi. Seno mendeskripsikan semua bayangan Sandra tentang kejadian apa yang terjadi ketika ia memilih salah satu judul yang ibu guru Tati tawarkan. Dengan deskripsi-deskripsi itu, pembaca bisa paham bahwa memang Sandra selalu menjalani kehidupan sehari-hari dengan lingkungan pelacur yang sangat khas seperti laki-laki yang tidur hingga pagi, alkohol, rokok, dan perempuan-perempuan lain yang bekerja seperti ibunya. Bahkan diparagraf ini
… Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.”  (Pelajaran Mengarang, Seno Gumira Ajidarma).
Sandra digambarkan mengetahui bagaimana ibunya bekerja sebagai pelacur. Hal itu sangat mengganggu psikologi Sandra yang seharusnya belum tahu hal-hal seperti itu. Seno berhasil membawa pembaca merasakan bagaimana jika mereka ada diposisi Sandra. Sedangkan didalam novel Drupadi, karena jenisnya adalah novel maka banyak kejadian yang memengaruhi psikologis Drupadi itu sendiri. Seperti disayembarakannya ia oleh ayahnya, dijadikannya ia istri dari kelima pandawa padahal hati kecilnya ia sangat ingin bersama Arjuna, bagaimana ia dipertaruhkan oleh Yudistira dan dipermalukan oleh para Kurawa, dan bagaimana ia harus merasakan pengasingan selama 13 tahun. Semua kejadian itu mempengaruhi psikologisnya dan merubahnya menjadi sangat berani untuk memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Pembaca yang mungkin dulunya pernah mendengar kisah lengkap dari epos Mahabarata mungkin akan merasa ada beberapa perbedaan dalam penggambaran Drupadi ini, namun secara garis besar tokoh Drupadi yang ada di novel dan cerita mitologi tetap menggambarkan psikologis Drupadi menjadi istri para Pandawa.
Seno Gumira Ajidarma bisa menjadi contoh bahwa tema perempuan bisa diambil oleh para penulis laki-laki. Walaupun Seno tidak mengalami kejadian-kejadian seperti dalam prosanya, namun ia bisa merasakan bagaimana bila ia ada diposisi Sandra dan Drupadi. Seno akhirnya bisa berontak dan mengungkapkan apa isu-isu perempuan yang seharunya dibereskan atau diberitahukan pada masyarakat. Para penulis laki-laki yang lain seharusnya juga bisa mengambil tema ini dan mengangkatnya dari sudut pandang yang mereka kuasai, sehingga tema ini bisa sekaligus menjadi kritik atas ketidakadilan gender dan penulis laki-laki bisa memperlihatkan sisi empati kepada kaum perempuan. Sehingga tidak ada lagi satu gender dipandang sebelah mata. Semuanya sama memiliki hak dan kewajiban dan itulah sebenarnya fungsi lain dari sebuah karya sastra. Memberi pesan hidup yang dapat diaplikasikan secara nyata pada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar