oleh Renna Maya Dwi Cahyati
Namun dibalik kekuranganku, aku masih semangat mengejar mimpi sebagai seorang guru. Memang tidak mungkin seorang tunanetra sepertiku menjadi guru. Cacian dan hinaan dari siswa-siswi lain sudah menjadi musik bagi telingaku setiap hari. Biasanya mereka akan aku resleting mulutnya dengan prestasi yang aku raih dibidang musik. Aku suka menyanyi dan karena hobiku ini aku bisa masuk SMA negeri yang lumayan populer di Jakarta lewat jalur prestasi. Semua jenis lagu dan musik aku kuasai dari mulai pop hingga tradisional bahkan dangdut pun aku bisa. Sering jika ada acara sekolah, aku selalu menjadi pengisi acara serta ada saja permintaan dari panitia kepadaku untuk membawakan lagu dangdut dan ketika musik mengalun sontak akan langsung disambut oleh riuh suara teman-temanku yang bersemangat sekali berjoget di lapangan sekolah. Aku bisa membayangkan bagaimana ramainya lapangan sekolah saat itu. Sayang, bayangan itu sekejap hilang ketika tidak sengaja sebuah alat musik keyboard menyenggol tubuhku hingga aku terjatuh di atas panggung saat hendak turun.
Aku bisa melakukan dan merasakan apa yang orang lain biasa lakukan, termasuk…
***
“Kamu pernah jatuh cinta gak sih?” tanya Citra, teman sebangkuku sejak kelas satu. Hanya ia yang mengerti aku selama ini dan mau membantuku membacakan soal ketika ujian. Walaupun ia sering bercerita bahwa ingin sekali ia mencontek semua jawabanku karena ia percaya bahwa jawabanku pasti benar semua
“Pernah lah, sekarang aja aku lagi suka sama seseorang” kataku sambil memainkan stylus atau alat untuk menulis huruf Braille “Fix kamu gak cerita ya” ucapnya sambil mencubit pelan pipiku, aku hanya tersenyum. Mungkin bagi sebagian orang terasa aneh bila orang sepertiku jatuh cinta. Mereka beranggapan bahwa wajah laki-laki saja aku belum pernah maka tidak mungkin aku bisa jatuh cinta. Juga sebagian orang berpikir bahwa aku akan sulit mendapatkan pasangan karena kebutaanku ini. Tapi aku percaya bahwa di dunia ini Tuhan sudah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.
“Heh! Malah senyum-senyum ini anak. Cerita sih Ra, jangan dipendam mulu” sentaknya membuatku sadar akan lamunanku. Untungnya kami sedang berada di kantin sekolah dan untungnya lagi kelas selesai lebih awal karena sebagian guru-guru tengah mengikuti acara dinas. Kami sudah berada disini sekitar tiga jam tanpa bosan dan sepi karena angin seakan menjadi musik gratis yang dimainkan oleh alam. Aku merubah posisi dudukku yang asalnya menghadap meja jadi menghadap Citra “Iya, aku lagi jatuh cinta sama seseorang. Tapi untuk menebak siapa orangnya aku bakal kasih kamu puisi dan jika kamu berhasil menangkap apa maksudnya berarti selamat, salah satu rahasiaku telah kamu buka” tantangku. Citra menghela nafas pelan “Kebiasaan deh, selalu gak pernah langsung kalo cerita. Dikiranya aku detektif kali, harus mecahin kode tersembunyi” kesal Citra. Suara petikan gitar di sebrang meja, suara ibu kantin yang kesal karena selalu dihutangi oleh siswa laki-laki, suara jatuhnya air keran ke wastafel, hingga suara perdebatan saat rapat mengisi telingaku. Ditengah suara-suara itu aku mengambil kertas dan menyisipkannya di sebuah reglet lalu mulai menusuk-nusukan stylus ke reglet itu untuk membuat huruf yang akan dirangkai menjadi puisi. Untungnya Citra bisa membaca huruf Braille dengan lumayan lancar sehingga kami terkadang bisa mengobrol saat pelajaran lewat kertas tanpa diketahui siapapun. Sembari menungguku, Citra pergi ke sebuah warung untuk memesan makanan dan tinggalah aku sendiri dengan semua bayangan di kepalaku yang berontak memaksa untuk tercetak di kertas.
Sekitar 10 menit kemudian, ia datang membawa nampan berisi dua mangkuk mie rebus ayam bawang dan dua gelas susu coklat “Dari harumnya aku pikir ini akan menjadi paduan yang sempurna” kataku sambil meminggirkan semua alat tulis “Ya, mie rebus hangat dan susu coklat. Mereka paduan unik yang saling melengkapi, manis dan asin” lanjut Citra sambil menaruh nampan dimeja dan kami pun mulai memakan mie tersebut.
***
Aku berjalan agak perlahan karena harus menghitung langkah. Dengan cara itulah aku jarang sekali tersesat jika di sekolah dan juga aku bisa mandiri pergi kemana saja tanpa merepotkan siapapun. Menghitung dimulai, dari luar kelas ke depan WC ada tujuh langkah, lalu berbelok ke kanan 15 langkah sampai ruang kelas 11 IPA 4, kemudian naik tangga disebelah kelas itu sekitar 10 anak tangga. Setelah naik lalu belok kiri 12 langkah dan sampailah aku di kantin. Kantin kami berada di lantai dua dekat dengan ruangan BK dan ruang sekretariat setiap ekskul. Disana aku mendengarkan dengan seksama suara-suara di sekitar kantin, biasanya akan ada suara cempreng Citra yang memanggil namaku namun ternyata tidak terdengar olehku suara itu. Aku menghela nafas lalu mulai berjalan lurus sambil menghitung langkah, 1…2…3…4…
BUGGGGG…………….
Aku merasa ada sebuah tubuh yang menabrakku keras. Jemari tangan yang kurus untungnya berhasil memegang lengannku agar tidak jatuh. Dari tangannya yang terasa kapalan dan agak kasar itu aku memprediksi bahwa ini adalah tangan laki-laki. Orang yang menabrakku itu mengusap kedua pundakku “Aduh kamu gak apa-apa?” tanya laki-laki itu “Oh, gak apa-apa kok. Maaf aku jalannya gak bener” kataku sambil tersenyum. Tiba-tiba ada suara langkah orang yang berlari menghampiri kami “Elang! Lu gak apa-apa?” kata seorang laki-laki yang langsung berhenti disebelah kananku “Gak apa-apa, gua aja yang gak fokus tadi jalannya” jawabnya tenang. Oh ini toh yang namanya kak Elang Respati, anak kelas 12 IPA 1 yang terkenal jago Bahasa Inggris. Ya, aku sangat mengenalnya. Kak Elang ini termasuk anak yang berprestasi dan pintar. Biasanya kak Elang kemana-mana selalu bersama keempat temannya. Ada kak Riri yang merupakan seorang videographer, kak Wafi yang selalu jadi asisten pribadinya kak Elang, kak Barry yang paling lucu diantara mereka, dan terakhir kak Septa yang merupakan seorang photographer.
Suara langkah yang mendekatiku makin banyak dan aku yakin itu adalah suara langkah teman-teman kak Elang “Eh bentar-bentar. Kamu Dara kan?” kata seorang laki-laki disebelah kiriku “Iya kak…” jawabku tertahan karena aku tidak hafal suara-suara mereka “Wafi, hafalin suara aku” ucapnya “Eh iya, maaf kak Wafi aku belum hafal suara-suaranya” sipuku malu “Oh ini Dara yang katanya jago nyanyi itu? Eh iya ini Septa, hafalin ya Ra” kali ini kak Septa yang berbicara dan minta suaranya dihafalkan kemudian disusul dengan suara dari kak Riri dan kak Barry. Sebuah tangan seketika menggenggam erat tanganku “Hei, ini Elang. Hafalin suaraku juga ya” ucapnya lembut sambil berlalu. Aku rasakan tangannya terlepas dari jemariku dan aku juga merasakan kepergian mereka yang menyisakan bayang-bayang tangan kapalan itu di telapak tangannku. Citra yang ternyata sudah memperhatikanku dari tadi langsung menghampiri dan berbisik “Aku tahu siapa yang kau maksud didalam puisimu itu. Aku tahu siapa pria penunggang kata dan aku tahu maksud tak peduli cahaya seperti apa dirimu, namun kau akan selalu berada di titik kegelapan, menuntun gelap menemukan pemeluknya. Kau” aku hanya tersenyum lalu menyalami Citra seraya berkata “Kau memang seorang detektif Cit”.
***
Suara mars sekolah itu terdengar lagi. Teman-teman menyambutnya dengan rasa bahagia karena akhirnya mereka terbebas dari jeratan guru killer yang mengajar sejarah itu. Mungkin suasana mencekam ini efek dari beliau yang menjelaskan tentang peristiwa penjajahan di Indonesia. Bisa juga ini efek dari kami yang dengan kompak tidak mengerjakan tugas mengenai sejarah pembentukan BPUPKI dan PPKI “Jadi pertemuan kita cukupkan sampai disini dan khusus untuk 11 IPS 4 ibu minta kalian semua tulis tangan buku paket halaman 154 tentang tokoh-tokoh dalam penjajahan Indonesia. Dari mulai Portugis sampai Jepang. Dikumpulkan paling telat Jum’at jam 9 pagi” kata Bu Tari sambil berjalan keluar kelas. Mungkin ibu lupa kalau hari ini adalah hari kamis dan kelas beres pukul 16.00, satu jam lebih lama karena diawal pelajaran tadi kami disebur satu kelas oleh omelannya dan bel yang tadi sebenarnya adalah bel pulang untuk anak kelas 12 karena mereka ada tambahan pemantapan UN dari sebuah bimbingan belajar yang memiliki logo gajah.
Saat sedang membereskan tas “Permisi, ada Dara?” tiba-tiba ada suara mungil terdengar olehku dari arah pintu “Cit itu siapa?” tanyaku sambil berusaha mengingat-ingat pemilik suara tersebut “Kak Riri” ucap Citra pelan “Ngapain kak Riri kesini?” tanyaku heran. Citra tidak menjawab dan malah menuntunku untuk menemui kak Riri. Sesampainya di depan pintu, aku kemudian dituntun kak Riri menuju koridor depan ruangan TU “Hei Dara” sapa suara renyah yang aku yakin itu adalah suara kak Elang “Eh kak Elang, hai” sapaku balik “Jangan panggil kakak, panggil Elang aja. Gak apa-apa kok” katanya lagi “Oh iya kak eh maksudnya Elang” canggungku. Sayup angin petang yang terasa lebih dingin dari biasanya dan juga langkah kaki kak Riri yang menjauh membelai telinga dan pipiku. Elang kemudian mengajakku duduk di bangku semen yang sebenarnya adalah pembatas antara koridor dan lapangan. Suasana sepi, hanya ada suara kakak-kakak kelas 12 yang masih betah bermain bola dan adik-adik kelas 10 yang sedang ghibah mengenai kakak kelas idola mereka.
Lama kami tenggelam dalam diri masing-masing. Memang kami sempat berbincang namun selalu terhenti jika diantara kami terlontar kata ‘Oh gitu’, setelahnya kami akan terdiam lagi. Kali ini Elang yang mulai berbicara “Jadi aku denger kamu masuk sekolah ini lewat jalur prestasi nyanyi ya?” tanyanya “Iya, beruntung aja sekolah ini menerima siswa yang kekurangan fisik sepertiku. Kalau sekolah lain pasti langsung menolak walaupun aku punya prestasi” jawabku “Oiya? Bukannya semua anak itu berhak mendapatkan pendidikan 12 tahun ya? Seperti apa kata pemerintah?” kata Elang heran “Setahuku iya, tapi kebanyakan sekolah menolak dengan alasan tidak ada fasilitas yang bisa mewadahi orang sepertiku. Sebenarnya di sekolah ini juga tidak ada tapi para gurunya bersedia memfasilitasiku dari mulai buku paket dan buku bacaan di perpus hingga komputer khusus untukku. Makanya aku bersyukur bisa sekolah disini” kataku sambil sedikit menyisipkan kritik yang selama ini ada dikepalaku. Aku bisa rasakan tangan Elang mencubit pelan pipiku “Itulah yang aku sukai dari dirimu. Kamu benar-benar diri kamu sendiri. Kamu tidak malu untuk menunjukkan kekuranganmu dan menutupinya dengan semangat belajar juga prestasi yang kamu dapat” puji Elang. Aku yakin saat ini darahku semua berkumpul didaerah pipi dan seakan berhenti disana tanpa mau mengalir ke bagian tubuh lain. Waktu terasa cepat karena kami mulai nyaman satu sama lain hingga akhirnya penjaga sekolah harus mengusir kami dengan cara membawakan tasku yang sejak tadi ada didalam kelas. Kami pulang dan ketika sampai di gerbang Elang menawarkan dirinya mengantarkanku kerumah.
***
Setelah kejadian itu, kami mulai dekat. Aku juga mulai merasakan ada perubahan dalam diriku yaitu aku lebih percaya diri dari sebelumnya karena Elang sering memotivasiku ketika aku hendak belajar malam harinya. Selain itu aku jadi punya teman duet baru kala ingin menyanyi. Biasanya jika ingin menyanyi, aku pergi ke ruang musik sendiri atau berdua bersama Citra namun kali ini Elang yang sering menemaniku karena ia juga pandai bermain gitar dan menyanyi. Kadang aku membawa Citra dan Elang membawa teman-temannya itu ke ruang musik sehingga kami sering bernyanyi bersama hingga diusir kembali oleh penjaga sekolah. Teman-teman dekat kami juga semakin dekat satu sama lain seperti tidak ada jarak antara kakak kelas dan adik kelas namun tetap aku dan Citra selalu sopan terhadap mereka layaknya sikap kepada senior.
Disuatu sore saat pulang sekolah, Elang seperti biasa menghampiriku dan mengajakku ngobrol seperti pertama bertemu. Kami mengobrol tentang apa saja hingga tiba-tiba terlintas di pikiranku “Lang, maaf jika ini terdengar aneh namun boleh gak aku menyentuh wajahmu?” pertanyaan itu dibalut rasa takut dan canggung tapi hanya itulah yang dapat aku lakukan agar tidak penasaran dengan raut wajahnya. Seketika Elang berkata ‘boleh’ dan menarik tangan kananku menuju wajahnya. Pertama adalah rambutnya yang diponi samping kearah kanan menutupi sebagian dahi dan alis mata kanannya. Jika diukur, panjang poni itu bisa menutupi hidungnya. Kemudian aku menyusuri matanya yang tertutup oleh kacamata berbingkai bundar seperti kacamata seorang penyihir Hogwarts. Melihat tanganku kesulitan meraba, ia dengan sigap melepas kacamatanya dan aku mulai menjelajah lagi. Jariku kemudian meraba pelupuk matanya yang berukuran sedang dengan bagian bawah mata yang agak berkantung. Dari sana bisa aku pastikan bahwa ia sering melewatkan malam dengan mata terbuka.
Kemudian jariku menuju hidung jambu airnya yang sengaja ia tutupi dengan poninya itu “Potong napa sih itu poni! Gak ngeganggu gitu?” kataku sambil menggoyangkan poni itu “Iya iya nanti aku potong. Kamu lama-lama kayak Bu Tari ya, nyebelin” sindirnya yang disambut langsung oleh kepalan tangan kiriku yang menonjok pelan pundaknya. Jariku turun lagi menuju kumis tipisnya dan diakhir adalah bagian bibir tipisnya yang tengah tersenyum. Saat sedang mengingat bagian-bagiannya, tiba-tiba jari tengahku dijepit bibirnya. Aku kaget dan sontak memukulnya bertubi-tubi. Suara air dari kolam hias sekolah dan tawa Elang seakan menjadi paduan cahaya yang menyinari gelap kehidupanku selama ini. Bangunan sekolah menjadi saksi indah peristiwa sederhana yang ternyata akan menjadi saat terakhirku bertemu dengannya.
***
Tiga minggu kemudian Elang tiba-tiba dikabarkan hilang. Sejak pertemuan terakhir itu, memang kami tidak lagi berkomunikasi. Hidupku memang kembali dalam kekang gelap namun aku biasa saja karena toh rutinitasku tidak terlalu terganggu. Sekolah juga sempat geger dengan kasus ini apalagi setelah tahu penyebabnya adalah tawuran antara sekolah kami dan sekolah swasta yang entah darimana. Keempat teman Elang sempat masuk kedalam catatan guru BK mengenai siswa bermasalah karena dianggap membawa Elang kedalam kasus ini. Setelah rapat guru-guru dan kepala sekolah, diputuskan hanya kak Barry yang selamat dan tiga lainnya masih dipertimbangkan. Siswa yang ketahuan ikut tawuran pun satu persatu dipanggil, kira-kira ada sekitar 20 orang lebih yang harus menghadap BK.
Aku menghampiri kak Barry di luar ruang guru dan mengajaknya ngobrol di ruang musik. Ia aku biarkan minum dulu karena pasti saat ini ia tengah lelah diinterograsi oleh pak Jalal, guru BK kami. “Kamu gak tahu rasanya ditanya berbagai macam pertanyaan sampai yang paling pribadi sekaligus. Kamu tahu kan pak Jalal kayak gimana orangnya?” kata kak Barry sambil mengatur nafas. Aku mengangguk tanda mengiyakan perangai guru kami itu yang terkenal dengan kedisiplinannya yang tinggi. Tidak lama, Citra datang bersama kak Wafi “Fi, si Septa sama Riri kemana?” tanya kak Barry “Masih disana. Gila mereka sekarang terancam dikeluarkan kalau gak cerita dimana Elang” jawab kak Wafi “Emang mereka tahu kak?” tanya Citra penasaran “Yang aku tahu Cit, mereka sebenernya gak terlalu tahu persis dimana Elang. Mereka bilang kalo memang Elang bareng mereka ketika tawuran itu terjadi tapi mereka gak ikutan. Ketika mau pergi, Elang liat temen kelasnya dipukulin. Sontak Elang bantuin, tiba-tiba dateng siswa sekolah lain itu pada mukulin Elang dan ngebawa Elang gak tahu kemana” cerita kak Wafi. Air mata tanpa permisi turun perlahan dipipiku, sebenarnya aku tidak sanggup mendengarkan ceritanya namun aku harus karena itu jalan satu-satunya semua terungkap “Sebenarnya Septa udah mau ngejar orang yang bawa Elang tapi keburu ada polisi jadinya dia sama Riri kabur” tambah kak Wafi “Gak ada yang tertinggal gitu dari Elang? Kayak tasnya atau apapun itu?” tanyaku dengan suara bergetar “Gak ada Ra. Maaf, aku sama Barry gak bisa bantu apa-apa dan malah bikin kamu khawatir” jawab kak Wafi lagi “Tenang aja kak, aku gak apa-apa kok. Aku malah khawatir kalau kalian terutama kak Septa sama kak Riri yang celaka. Aku tahu Elang kuat kok, seperti namanya” ucapku sambil tersenyum. Senyum yang membuat ketiga temannku itu bisa sedikit bernafas lega dan semakin tegar.
***
Dua hari kemudian kepala sekolah mengabarkan kalau mereka menemukan Elang. Ia ternyata disekap oleh siswa sekolah swasta itu dan mereka langsung ditangkap oleh pihak kepolisian. Sekarang Elang tengah berada di rumah sakit untuk perawatan intesif. Aku yang notabene sangat takut ke rumah sakit hingga saat ini belum pernah menjenguknya. Aku hanya mengetahui kabarnya dari cerita Citra yang menjenguk kesana bersama kak Barry. Untuk kabar kak Septa dan kak Riri sendiri, mereka akhirnya terbebas dari ancaman dikeluarkan oleh pihak sekolah. Kalau untuk para siswa yang menjadi tersangka tawuran, mereka dijerat berbagai macam sanksi. Aku bersyukur semua kejadian mengemparkan ini telah selesai.
Pagi ini, aku tengah berada dikelas menyimak pelajaran PPKN mengenai pembentukan undang-undang dasar dan amandemennya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dan membukanya “Permisi bu, ini ada surat panggilan dari BK untuk Dara. Katanya diminta untuk ke ruang tamu” kata suara yang aku pastikan adalah milik kak Septa. Setelah mendapat persetujuan dari guru di kelas, aku mendengar suara langkah kaki mendekat dan sebuah tangan menuntunku untuk keluar dari kelas “Aku bersyukur kak Septa lolos dari ancaman itu” ucapku sambil tetap fokus pada langkah kakiku “Hehe iya Ra. Ini semua berkat doa kamu, Elang sama yang lain, termasuk Citra andilnya besar banget di kasus ini” kata kak Septa. Aku tersenyum bangga khusunya untuk Citra yang berhasil membujuk ayahnya yang seorang mantan intel itu untuk melakukan pengintaian.
Sesampainya di ruang tamu, pak Jalal gantian menuntunku. Aku duduk disebelah beliau dengan rasa tegang dan takut “Nah nak Dara, tujuan bapak memanggil kamu karena ada salah satu siswa yang memiliki kekurangan sepertimu namun ia belum pandai membaca dan menulis huruf Braille. Jadi tolong ajari dia yah” jelas pak Jalal. Aku mengangguk kemudian beliau permisi sebentar untuk mengantarkan siswa tersebut. Aku bertanya-tanya siapakah orang itu hingga sebuah suara yang sangat aku kenal tiba-tiba menusuk kupingku “Hai Dara, sudah lama tidak bertemu” sontak aku terkaget karena ini adalah suara Elang. Sebuah kejutan yang menyenangkan sekaligus menyedihkan untukku karena secara tidak langsung aku dapat mengetahui bahwa Elang kehilangan penglihatannya akibat pukulan-pukulan itu “Lang, kamu…? Mata kamu?” tanyaku sambil meraba matanya “Iya Ra, mulai saat ini aku sama sepertimu. Dikekang dalam gelap. Melihat dunia berwarna hitam setiap hari sepanjang hidupku. Bisa saja aku mengobatinya tapi nanti sajalah” jawabnya tenang sambil menurunkan tanganku dan menggengamnya “Kalau bisa diobati sekarang, kenapa kamu milih nanti?” tanyaku heran “Aku ingin melihat duniamu. Dunia yang beraneka rupa walaupun semua berwarna gelap, dunia yang telah membawaku jatuh hati kepadamu selama ini” jawabnya tanpa ragu “Dan lagi, jika nanti aku mengobati mataku maka aku ingin matamu diobati juga. Kita lihat dunia bersama-sama, kita lihat cahaya bersama-sama” lanjutnya. Suara angin kembali terdengar, kali ini pengalamanku sebagai guru sepertinya akan dimulai. Mengajar satu orang laki-laki yang memberikan cahaya lewat gelap. Kini akan ada sinar diantara dua gelap. Gelap milikku, Dara Handini dan gelap miliknya, Elang Respati.